DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
BAB V
DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
- DISTRIBUSI
PENDAPATAN
Dalam
distribusi pendapatan baik antarkelompok berpendapatan, antardaerah perkotaan
dan daerah pedesaan, atau antarkawasan dan propinsi dan kemiskinan merupakan
dua masalah yang masih mewarnai perekonomian Indonesia
Pada awal
pemerintahan orde baru, perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia masih
sangat percaya bahwa apa yang dimaksud dengan trickle down effect akan terjadi.
Oleh karena itu, strategi pembangunan diterapkan oleh pemerintah pada awal
periode orde baru hingga akhir tahun 1970-an terpusatkan pada pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan
dimulai di Pulau Jawa, khususnya Propinsi Jawa Barat, karena fasilitas seperti
infrastruktur lebih tersedia dibandingkan dipropinsi lainnya di Indonesia dan
di beberapa propinsi hanya dibeberapa sector saja yang bisa dengan cepat
memberi pertumbuhan misalnya sector primer dan industri berat.
Setelah
sepuluh tahun pelita I dimulai, mulai kelihatan bahwa efek yang dimaksud itu
mungkin tidak dapat dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses mengalir
kebawahnya sangat lamban. Sebagai akibatnya, Indonesia menikmati laju
pertumbuhan yang relatif tinggi, tetapi pada waktu yang bersamaan tingkat
kesenjangan semakin membesar dan jumlah orang miskin semakin banyak. Tepatnya
setelah pelita III, strategi pembangunan mulai diubah. Tidak hanya pertumbuhan
tetapi juga kesejahteraan masyarakat, tidak hanya dijawa, tetapi juga diluar
jawa, menjadi kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan mengembangkan industri
yang padat karya dan sector pertanian . hingga saat ini sudah banyak program
pemerintah yang berorientasi mengurangi kemiskinan, seperti inpres pedesaan,
transmigrasi, dan masih banyak lagi. Masalah kesenjangan ekonomi (pendapatan)
dan kemiskinan di Indonesia akan dibahas. Faktor-faktor yang menyebabkan
kesenjangan dan kemiskinan tetap ada ditanah air walaupun pembangunan ekonomi
berjalan terus dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.
Sudah merupakan
suatu fakta umum dibanyak negara berkembang, terutama Negara-negara proses
pembangunan ekonomi yang sangat pesat seperti indonesia, laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat kesenjangan ekonomi atau
kemiskinan yang tinggi pula. Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk
menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan atau
kesenjangan ekonomi adalaha salah satu metode statik yang umum digunakan untuk
mengetimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam distribusi
pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses pembangunan
ekonomi adalah mengukur nilai koefesien atau rasio gini.
Selai
koefesien gini, pengukuran pemerataan pendapatan juga sering dilakukan
berdasarkan kriteria bank dunia : penduduk dikelompokan menjadi tiga kelompok;
yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupan 40% dari jumlah penduduk,
penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk,
dan penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk.
Selanjutnya ketidak merataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan
pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.
1.
Perubahan distribusi
pendapatan
Perhitungan
distribusi pendapatan di Indonesia menggunakan data survei sosial ekonomi
nasional (susenas) pada tahun 1984, 1987, 1990, 1993. data pengeluaran konsumsi
rumah tangga yang dikumpulakan oleh susenas digunakan sebagai pendekatan
(proxy) untuk mengukur distribusi pendapatan penduduk di Indonesia. Karena
pengertian pengeluaran konsumsi tidak sama dengan pengertian kekayaan,
perbedaan konsep ini menjadi kendala serius dalam mengukur secara akurat
tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Karena bisa saja
seseorang tidak punya pekerjaan (pendapatan), tetapi sangat kaya karena ada
warisan keluarga. Banyak pengusaha muda dari tingkat pendapatanya tidak terlalu
berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan tempat mereka bekerja
adalah milik mereka (orang tuanya).
Penggunaan
data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkandata pendapatan yang
underestimate karena jumlah pendapatan bia lebih besar, sama, atau lebih kecil
dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak
selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar. Dalam hal ini, berarti ada
tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu
jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai
pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk
biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan.
Keberhasilan
pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan
penduduk secara agregat atau per capital, tetapi juga (justru lebih penting
lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua
anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia
sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni
sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah
air yang manikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%)
hanya menikmati 10& dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati
oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami
perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia
akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara
kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil.
Sejak
akhir tahun 1970-an, pemerintah maulai memperliatkan kesugguhan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan
dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan
jalur pemerataan. Sudah banyak program pemerintahan hingga saat ini yang
mecerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijakan yang mendukung
pembangunan industri kecil dan rumah tangga serta koperasi, khususnya
dipedesaan, inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, program keluarga
berencana (KB), program maka tambahan bagi anak sekolah dasar, program
transmigrasi, peningkatan upah minimum regional (UMR), dan masih banyak lagi.
Menurut
kriteria Bank Dunia, secara umum tingkat kesenjangan dalam distibusi pendapatan
di Indonesia selama kurun waktu 1984-1993 tergolong rendah, baik didaerah
pedesaan maupun daerah perkotaan yang ditunjukan oleh besarnyapersentase
pendapatan yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan rendah.
Bagi kelompok penduduk 20% berpendapatan tinggi, besar pendapatanya yang
diterima justru mengalami penurunan. Penurunan pangsa pendapatan ini karena
laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 40% berpendapat rendah dan 40%
berpendapat menengah lebih besar dari pada laju pertumbuhan pendapatan kelompok
penduduk 20% berpendapat tinggi.
Tingkat
pemerataan pendapatan di daerah pedesaan yang relatif lebih baik dari pada
didaerah perkotaan juga terjadi hamper disemua propinsi di Indonesia. Semakin
buruknya distribusi pendapatan di daerah perkotaan dibandingkan didaerah
pedesaan terutama disebabkan oleh pola perekonmian dan jumlah serta kondisi
sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi sangat berbeda antara pedesaan
dan perkotaan. Dikota, Jakarta misalnya persaingan dalam dunia usaha dan dalam
mendapatkan pekerjaan semakin keras. Jumlah manusia dijakarta semakin keras.
Jumlah manusia dijakarta semakin banyaki, diperkirakan sekita sepuluh juta
orang, yang sebagian disebabkan oleh orang-orang yang terus datang ke Jakarta
terutama yang berasal dari Jawa dan Sumatra. Sementara kemanapun ekonomi
Jakarta untuk memberi pekerjaan bagi pencari kerja yang bertambah jumlahnya
setiap tahun terbatas. Terjadi perpindahan surplus tenaga kerja dari desa ke
kota. Mereka tidak bisa ditampung disektor formal akhirnya masuk ke sector
informal yang pada umumnya merupakan kegiatan ekonomi dengan tingkat
produktivitas dan pendapatan rendah. Karena terlalu banyak orang yang mau
bekerja disektor formal, sedangkan daya tamping sector tersebut terbatas maka
semakin berat seleksi penerimaan pekerja. Pendidikan atau keterampilan khusus
menjadi salah satu kriteria utama dalam seleksi tenaga kerja disektor formal.
Jumlah penganggruan, terutama setengah pengangguran, semakin tinggi, dan
kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mempunyai kesempatan bekerja
disektor formal dan kelompok masyarakat yang hanya bisa bekerja disektor
informal atau yang tidak memiliki pekerjaan semakin besar.
Struktur
produksi adalah logika proses produksi, yang menyatakan hubungan antara
beberapa pekerjaan pembuatan komponen
sampai menjadi produk akhir, yang biasanya ditunjukkan dengan menggunakan
skema. Struktur produksi nasional dapat dilihat menurut lapangan usaha dan
hasil produksi kegiatan ekonomi nasional. Berdasarkan lapangan usaha struktur
produksi nasional terdiri dari sebelas lapangan usaha dan berdasarkan hasil
produksi nasional terdiri dari 3 sektor, yakni sektor primer, sekunder, dan
tersier.
Sejalan
dengan perkembangan pembangunan ekonomi struktur produksi suatu perekonomian
cenderung mengalami perubahan dari dominasi sektor primer menuju dominasi
sektor sekunder dan tersier. Perubahan struktur produksi dapat terjadi karena :
a)
Sifat manusia dalam perilaku
konsumsinya yang cenderung berubah dari konsumsi barang barang pertanian menuju
konsumsi lebih banyak barang-barang industri
b)
Perubahan teknologi yang
terus-menerus, dan
c)
Semakin meningkatnya
keuntungan komparatif dalam memproduksi barang-barang industri.
Struktur produksi
nasional pada awal tahun pembangunan jangka panjang ditandai oleh peranan sektor
primer, tersier, dan industri. Sejalan dengan semakin meningkatnya proses pembangunan ekonomi maka pada akhir Pelita V atau kedua, struktur produksi
nasional telah bergeser dari dominasi sektor primer menuju sektor sekunder.
- Analisis
Distribusi Pendapatan
1)
Distribusi Ukuran (personal
distribution of income
Distribusi
pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi
ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan indikator yang paling
sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga.
Yang
diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang,
tidak peduli dari mana sumbernya, entah itu bunga simpanan atau tabungan, laba
usaha, utang, hadiah ataupun warisan.
Lokasi
sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang
menjadi sumber penghasilan (pertanian, industri, perdagangan, dan jasa) juga
diabaikan.
2)
Kurva Lorenz
Sumbu
horisontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam persentase kumulatif.
Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi atau kelompok terendah
(penduduk yang paling miskin) yang jumlahnya meliputi 20 persen dari jumlah
total penduduk. Pada titik 60 terdapat 60 persen kelompok bawah, demikian
seterusnya sampai pada sumbu yang paling ujung yang meliputi 100 persen atau
seluruh populasi atau jumlah penduduk.
Sumbu
vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh
masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut. Sumbu tersebut
juga berakhir pada titik 100 persen, sehingga kedua sumbu (vertikal dan
horisontal) sama panjangnya.
Setiap
titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase jumlah
penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan itu terdapat total
penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal
melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50 persen
dari jumlah penduduk.
Titik
yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 persen
pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah penduduk.
Garis diagonal
merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality) dalam
distribusi ukuran pendapatan.
3)
Koefisien Gini dan Ukuran
Ketimpangan
Pengukuran
tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat
sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang
terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh
bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
4)
Koefisien Gini dan Ukuran
Ketimpangan Agregat
Pengukuran
tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat
sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang
terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh
bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
Koefisien
Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/ kesejahteraan)
agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan
sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).
Angka
ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pendapatan di kalangan
penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Untuk negara-negara
yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling merata),
berkisar antara 0,20 sampai 0,35.
- KEMISKINAN
Masalah
kemiskinan merupakan dilema bagi Indonesia, terutama melihat kenyataan bahwa
laju pengurangan jumlah orang miskin berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku
jauh lebih lambat dari pada lajupertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak
pelita I dimulai hingga saat ini (Repelita VI). Karena kemiskinan merupakan
salah satu masalah ekonomi Indonesia yang serius maka tidak mengherankan kalau
banya studi telah dilakukan mengenai kemiskinan tanah air. Sayangnya,
pendekatan yang dipakai antarstudi yang ada pada umumnya berbeda dan batas
miskin yang digunakan juga beragam sehingga hasil atau gambaran mengenai
kemiskinan di Indonesia juga berbeda. Kemiskinan relatif dapat diukur dengan
kurva Lorentz dan atau koefesien gini. Sedangkan kemiskinan absolute lebih
sulit untuk di ukur, terutama pada waktu membandingkan tingkat kemiskinan
antarpropinsi atau daerah.
Faktor
penyebab kemiskinan, faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung
terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai contoh sering dikatakan bahwa salah satu
penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah. Seseorang dengan
tingkat pendidikan hanya SD, misalnya sangat sulit mendapatkan pekerjaan
terutama dalam sektor modern , (formal) dengan pendapatan yang baik. Berarti
penyebab kemiskinan bukan hanya pendidikan yang rendah, tetapi tingkat
gaji/upah yang berbeda.
Kalau
diuraikan satu persatu, jumlah faktor yang dapat dipengaruhi, langsung maupun
tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat dan laju
pertumbuhan output (atau produktifitas), tingkat upah neto, distribusi
pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan
subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, penggunaan
teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam disuatu
wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga
politik, bencana alam, dan peperangan. Kalau diamati, sebagian besar faktor
tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya dari pekerja yang
bersangkutan sehingga produktivitasnya menurun. Produktifitas menurun
selanjutnya dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya.
Jadi, dalam kasus ini, tidak mudah untuk memastikan apakah karena pajak naik
atau produktifitasnya yang turun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena
upah netonya menjadi rendah.
Masalah
besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan)
distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi
pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari
munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut
akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan
konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah
kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang
berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini.
Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan
angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang
dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar
angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya. Negara
maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang
relative kecil dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak
terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian,
masalah ini bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, namun telah
menjadi permasalahan bagi dunia internasional.
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,
ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif,
dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Adapun secara umum
penyebab kemiskinan diantaranya:
a)
Kemalasan.
b)
Kebodohan dan pemborosan.
c)
Bencana alam.
d) Kejahatan, misalnya dirampok
e)
Genetik dan dikehendaki
Tuhan, baik genetika orang tua, tempat lahir, kondisi orang tua yang miskin
- Definisi
kemiskinan menurut beberapa ahli
· Menurut Sallatang (1986)
kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan pemilikan kekayaan
materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan
sosial.
· Menurut Esmara (1986)
mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk
mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan
dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
· Menurut Basri (1995) bahwa
kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba kekurangan dalam pemenuhan
sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan,
pengetahuan, dan lain sebagainya.
· Menurut Badan Pusat
Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara
dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah
perkotaan.
· Poli (1993) menggambarkan
kemiskinan sebagai keadaan ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas
kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif,
ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan,
adanya perilaku antisosial (anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan
untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan
keterpencilan, serta ketidakmampuan dan keterpisahan.
· Bappenas dalam dokumen
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah
kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan
dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan
untuk menjadi miskin.
·
SPECKER (1993) mengatakan
bahwa kemiskinan mencakup beberapa hal yaitu :
a) kekurangan fasilitas fisik
bagi kehidupan yang normal
b) gangguan dan tingginya
risiko kesehatan,
c) risiko keamanan dan
kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya,
d) kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak,
dan
e) kekurangan dalam kehidupan
sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan sosial,
Masalah
kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bermartabat. Pemecahan masalah
kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka, yaitu hak sosial,
budaya, ekonomi dan politik.
- Ukuran Kemiskinan
1)
Kemiskinan Absolut
Konsep kemiskinan pada
umumnya selalu dikaitkan dengan pendapatan dan kebutuhan, kebutuhan tersebut
hanya terbatas pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar ( basic need ).
Kemiskinan
dapat digolongkan dua bagian yaitu :
·
Kemiskinan untuk memenuhi
bebutuhan dasar.
·
Kemiskinan untuk memenuhi
kebutuhan yang lebih tinggi.
2)
Kemiskinan Relatif
Menurut Kincaid ( 1975
) semakin besar ketimpang antara tingkat hidup orang kaya dan miskin maka
semakin besar jumlah penduduk yang selalu miskin. Faktor-faktor Penyebab
kemiskinan :
Ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi kemiskinan baik secara langsung maupun tidak langsung,
yaitu sebagai berikut :
·
Tingkat kemiskinan cukup
banyak.
·
Mulai dari tingkat dan laju
pertumbuhan output ( produktivitas tenaga kerja ).
·
Tingkat inflasi.
·
Tinggat Infestasi.
·
Alokasi serta kualitas
sumber daya alam.
·
Tingkat dan jenis
pendidikan.
·
Etos kerja dan motivasi
pekerja.
- Strategi Dalam
Mengurangi kemiskinan
1)
Pembangunan Sektor Pertanian
Sektor pertanian
memiliki peranan penting di dalam pembangunan karena sector tersebut memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan masyarakat di pedesaan berarti
akan mengurangi jumlah masyarakat miskin.
2)
Pembangunan Sumber Daya
manusia
Sumber daya manusia
merupakan investasi insani yang memerlukan biaya yang cukup besar, diperlukan
untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyrakat secara
umum, maka dari itu peningkatan lembaga pendidikan, kesehatan dan gizi
merupakan langka yang baik untuk diterapkan oleh pemerintah.
3)
Peranan Lembaga Swadaya
Masyarakat
Mengingat LSM memiliki
fleksibilitas yang baik dilingkungan masyarakat sehingga mampu memahami
komunitas masyarakat dalam menerapkan rancangan dan program pengentasan
kemiskinan
DAFTAR PUSTAKA
Dibuat oleh :
SAFIRA NURULITA
1EB01
NPM : 26218435
Komentar
Posting Komentar