SEJARAH PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA
BAB
II
SEJARAH
PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA
Indonesia terletak di posisi geografis antara
benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang
strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra,
yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka
ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah,
ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur).
Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad
pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah
di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional
disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh
raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat
perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai
zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari
berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu,
karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan
koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal
di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di
Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak
berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi
surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya
wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan,
kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan,
sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di
masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun
dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan
sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga
saat ini. Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan
perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat
1. SEBELUM
KEMERDEKAAN
Sebelum
merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa
periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis,
Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di
Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa
selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
yang
masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia,
rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode,
berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia
Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
Belanda
yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di
Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda
kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang
didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang
Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC
(Inggris). Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi,
yang antara lain meliputi :
a)
Hak
mencetak uang
b)
Hak
mengangkat dan memberhentikan pegawai
c)
Hak
menyatakan perang dan damai
d)
Hak
untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
e)
Hak
untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak
itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun
walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai
VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi
ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang
dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas
komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup
penduduk pribumi.
Peraturan-peraturan
yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil
bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung
monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap
tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah
yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan
tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya
diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran
niaga samudera Hindia. Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan
menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan
kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu
kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di
masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050
metrik ton. Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang
melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda
untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa
yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu
dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan
dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an.
Pada
tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan
Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain
disebabkan oleh :
a)
Peperangan
yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang
Diponegoro.
b)
Penggunaan
tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c)
Korupsi
yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d)
Pembagian
dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
2.
MASA PASCA KEMERDEKAAN (1945-1950)
Pada
masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain
disebabkan oleh :
a) Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena
beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu,
untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di
wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima
AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan
berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober
1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang
Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter,
banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b) Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan
November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
c) Kas Negara kosong
d) Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
1) Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri
keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946.
2) Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke,
mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blockade
Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3) Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk
memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi
yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah
sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4) Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi)
19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5) Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada
pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada
pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor
pertanian merupakan sumber kekayaan).
3.
ORDE BARU (1966-1997)
Pada awal orde baru,
stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program
pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan
negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak
dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat
pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha
pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak
memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka
sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori
Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.
Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan
menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan
kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah
mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian. Kebijakan ekonominya diarahkan pada
pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan yaitu
kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan
kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran
pembangunan, dan peradilan. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai
membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA). Berikut penjelasan singkat ten tang beberapa REPELITA:
a)
REPELITA I
(1967-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan yang
ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang
diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama
untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan
kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b)
REPALITA II
(1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per
tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk
memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri
yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c)
REPALITA III
(1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan ekonomi yang
dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta
peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
d)
REPALITA IV
(1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan
usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian
pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi
menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan
yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
4. MASA REFORMASI
Pemerintahan reformasi diawali pada tahun 1998.
Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo menuntut presiden
Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan Bapak Soerhato
dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi
pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang
dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai
Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali
lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,-
sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi
hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus
dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang
yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika.
Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia
sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).
Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar
adalah hutang komersial swasta). Pemerintahan reformasi dari tahun 1945 sampai
sekarang sudah mengalami beberapa pergantian presiden, antara lain yaitu :
1.
Bapak
B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
Presiden Baharuddin
Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi. Salah satu tantangan sekaligus
capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi pertumbuhan minus
13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999. Habibie menerbitkan
berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian Indonesia ke
masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar
AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998. Pada masa
Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran
eksekutif. Presiden B.J Habibie jatuh dari
pemerintahannya karena melepaskan wilayah Timor-timor dari Wilayah Indonesia
melalui jejak pendapat
- Bapak Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23
Juli 2001)
meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak
pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia
tumbuh 4,92 persen pada 2000.
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi
fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi dana secara berimbang antara pusat
dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan pajak dan retribusi daerah.
Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat menjadi 3,64
persen. Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman wahid pun belum ada tindakan yang cukup berati untuk menyelamatkan
Indonesia dari keterpurukan. Kepemimpinan Abdurraman Wahid berakhir karena
pemerintahannya mengahadapi masalah konflik antar etnis dan antar agama.
- Ibu Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
Masa pemerintahan
Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap terus meningkat dari
tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen dari
3,64 persen pada tahun sebelumnya. Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi
4,78 persen. Di akhir pemerintahan Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh
5,03 persen. Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001,
18,2 persen pada 2002, 17,4 persen pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004.
Perbaikan yang
dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih ketat hingga
menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung. Saat itu, kata Lana,
perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada lagi repelita
seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan
tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi.
- Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
(20 Oktober 2004-sekarang)
MESKI naik-turun,
pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY) relatif stabil. Pertumbuhan Indonesia cukup menggembirakan di awal
pemerintahannya, yakni 5,69 persen pada 2005.
a.
Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat
jadi 5,5 persen. Di tahun berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6
persen, tepatnya 6,35 persen.
b.
Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6
persen meski turun tipis ke angka 6,01 persen. Saat itu, impor Indonesia
terbilang tinggi. Namun, angka ekspor juga tinggi sehingga neraca perdagangan
lumayan berimbang.
c.
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal
periode kedua kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63
persen. Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua
kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.
Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial global yang tak
hanya dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank
Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga yang membuat harga
komoditas global naik. Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan
pertumbuhan ekonomi walaupun melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi
Indonesia masuk tiga terbaik di dunia.
d.
pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan
capaian 6,22 persen. Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan
pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang.
e.
Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen,
berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23
persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu, dengan capaian 5,56
persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014.
Pada tahun 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa hutang
pada IMF (International Monetary Fund). Dengan ini, maka diharapkan
Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam
negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat,
setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan
miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan
Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan
karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor
riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga
kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Pengeluaran
Negara pun juga semakin membengkak dikarenakan sering terjadinya bencana alam
yang menimpa negeri ini.
5.
Joko Widodo (2014-Sekarang)
Pada masa
pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi
merombak struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan
infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing.
Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat tahun masa
pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan pada era SBY.
a.
Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh.
Rupiah terus menerus melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia
tumbuh 4,88 persen.
Di era Jokowi kata, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya sebagai
dokumen tanpa pengawasan dalam implementasinya. Dalam kondisi itu, tak
diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti repelita yang lebih
fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga.
b.
Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh
5,03 persen. Dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17.
Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi
pertumbuhan ekonomis 2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun,
pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018 ternyata tak cukup menggembirakan, hanya
5,06 persen. Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen
dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan
kuartal sebelumnya. Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada kuartal III-2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi
dibandingkan kuartal sebelumnya. Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi
diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank Indonesia, misalnya, memprediksi
pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018 akan berada di batas bawah 5
persen.
DAFTAR PUSTAKA
DIBUAT OLEH :
SAFIRA NURULITA
1EB01
NPM : 26218435
SAFIRA NURULITA
1EB01
NPM : 26218435
Komentar
Posting Komentar